Rabu, 11 Mei 2011

schizophrenic cepat lelah?

Ada sahabat ODS yang mengeluh mengapa dia merasa cepat lelah. Sebenarnya aku juga merasa demikian. Seringkali kepalaku pusing dan mendadak sakit. Kalau dibandingkan dengan teman-temanku, sebenarnya kegiatanku sama dengan mereka.Namun kalau dibuat berpikir agak berat. aku jadi cepat stress.

adakah sahabat yang punya cara yang jitu untuk mengatasinya?

Seorang teman mengatakan dengan minum vitamin badan jadi lebih segar. Apalagi minum madu dan habatussaauda'. Hmm... sepertinya aku harus mencobanya.
yang pasti sekarang bagaimana caranya mengatur waktu agar bisa produktif. Bekerja dan belajar... utamanya mengerjakan skripsi...
Yang satu ini memang bikin stress dan kepala pusing. Orang normal aja merasa berat mengerjakan skripsi. Apalagi ODS seperti aku....

Tapi yakin aja dengan pertolongan Allah.. pasti semuanya akan berjalan dengan sukses....

Everything will be alrite guys.......

Sabtu, 05 Maret 2011

Slowly but surely


Slowly but surely. Perlahan tapi pasti akhirnya aku bisa melewati masa-masa sulit yang menguras emosi. Mulai dari belajar menahan marah, tidak ngomel:), atau pun terburu-buru dalam mengerjakan sesuatu. Aku mulai belajar bagaimana memanfaatkan waktu dengan baik. Terutama dalam memanajemen diri sendiri. Bagaimana kita bisa memanfaatkan waktu dalam satu hari agar tidak terbuang sia-sia,

Aku belajar untuk mem-planning apa yang bisa kukerjakan esok hari. Memilah-milah kebutuhan mana yang harus di dahulukan. Menyeleksi masalah mana yang benar-benar harus dipikirkan dan mana yang kita lalui begitu saja. Aku mulai mengidentifikasi mana yang baik dan bermanfaat bagiku, dan mana yang kurang penting. Belajar mengambil keputusan dengan pertimbangan yang matang, dan tidak grusa-grusu.

Jika dahulu, aku melakukan apa saja yang kusukai tanpa memperdulikan bagaimana perasaan orang lain. Sekarang aku mulai bisa "membaca" perasaan seseorang. Apakah orang itu nanti tersinggung atau marah dengan apa yang aku lakukan. Seiring berjalannya waktu, aku belajar beradaptasi dengan lingkungan tempatku tinggal. Berinteraksi dengan orang-orang baru. Membuka diri, dan menambah wawasan. biar tidak kuper:)

Kalau Pak "Sigmeund Freud" bilang, penderita skizofrenia tidak bisa memfungsingkan "ego" nya karena "id" yang dominan, sekarang aku sedikit banyak bisa mengendalikan "ego"ku. Rasanya aku bisa menemukan jati diri ku yang sebenarnya. Mulai menapaki dan merencanakan masa depan. Alhamdulillah sekarang aku bisa cari uang sendiri. Aku memberikan les privat dan menjadi asisten dosen di Fakultas tempatku kuliah. Meskipun hasilnya tidak banyak, tapi lumayan bisa untuk menambah uang saku.

Sampai sekarang pun aku masih minum obat. tapi dosisnya sudah dikurangi. Dan perlahan, aku mencoba bisa terlepas dari obat. Meskipun tidak bisa sepenuhnya. Aku berharap suatu hari nanti aku bisa mandiri. Tidak bergantung pada orang lain. Tidak lagi menyusahkan orang tua. Dan bisa bekerja seperti layaknya orang yang sehat.

Aku tahu, ini semua butuh perjuangan yang tidak mudah. Tapi jika kita berusaha, pastilah kita bisa mendapatkan hasil yang sesuai dengan usaha kita. Bukankah Tuhan tidak tidur? Bukankah Tuhan Mahabaik? Dan bukankah Ia Pemilik Segala Suatu di bumi ini?
Tidak perlu berputus asa dan menagisi apa yang telah terjadi. Kita tidak bisa menghindar dari takdir. Namun kita diberi kekuatan untuk melawan hal-hal buruk yang terjadi pada kita. Tetap semangat dan terus mencoba ^-^

Minggu, 06 Februari 2011

Kopdar KPSI, building friendship and family :)



Alhamdulillah... kopdar KPSI daerah Malang dan sekitarnya telah berjalan dengan lancar.

Al we have done is not just sharing but also bulding friendship and family :)

Seneng banget bisa berbagi bersama ODS, ODB, keluarga penderita, dan para psikolog dan psikiater. Kita bisa banyak belajar dari mereka. Ada Feril yang ODS tapi tulisannya bisa dimuat di Jakarta Post, Annyta yang hobby gambar, Mas David yang meskipun sakit masih sempet jadi asisten Lab. Trus ada bu Yuniar, Bu wiwid,para psikiater yang cantik dan ramah :). Pak Aris, Bu Evi, Bu Tri, dan para caregivers lainnya yang selalu semangat memberikan motivasi pada penderita. Mas Bagus, keluarga penderita yang datang jauh-jauh dari Jakarta banyak berbagi pengalaman dan cerita. Pak Yudhono, yang tetap sabar dan konsisten dalam menghadapi putranya.Dan semuanya yang nggak cukup kalo ditulis di sini. :)

Dari cerita dan pengalaman yang kita bagi bersama ada beberapa "teknik" yang bisa dilakukan ODS dan ODB agar mereka bisa berkomunikasi sekaligus survive dalam menghadapi hidup. Teknik ini bukan sekedar teori tetapi terbukti bisa membantu mereka saat terkena symptomp.
1. Memaknai apa yang terjadi pada kita apa adanya.
Biasanya ODS/ODB cenderung memaknai suatu peristiwa dengan makna "mistis". Misalnya, ketila dompetnya hilang ia mereasa harinya akan dirundung kesialan atau mendapatkan karma dari kesalahannya di masa lalu.
2. Motivasi diri sendiri
Gunakan kata-kata bernada positif, alih-alih negative thinking pada apa yang telah kita lakukan. Berikan apresiasi dan penghargaan pada diri sendiri, seperti : " Alhamdulillah, hari ini aku udah nggak marah-marah lagi, semoga besok emosiku bisa stabil.
3. Berpikiran runtut dan teratur
Untuk mengura pemikiran kita yang cenderung rumit, bisa berdiskusi dengan orang lain. Bisa juga menuliskannya di buku harian, kemudian dibacakan kepada kerabat dekat atau orang yang dipercaya. Dengan begitu orang lain akan mengerti apa yang kita pikirkan.
4. Saran dari Mas Nadhif, mahasiswa psikologi semester akhir yang sedang melakukan penelitian : teknik menjaga kontak mata dengan lawan bicara, keep smile, mengatur tinggi rendahnya suara, intinya meningkatkan kecerdasan interpersonal kita agar bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain.

Namun cara apa pun yang kita lakukan untuk bisa sembuh dari penyakit ini, butuh waktu yang lama untuk melakukan proses belajar. Penyakit ini tidak sama dengan sakit flu yang sekali minum obat besok langsung sembuh.
Skizofrenia, bipolar dan gangguan kejiwaan lainnya merupakan sebagian refleksi dari luka hati, kekecewaan, keputusasaan, kebimbangan dan keterpurukan seeorang. Perlu waktu untuk menyembuhkannya. Tidak hanya dari sisi medis saja, tetapi juga keluarga, masyarakat, dan penderita itu sendiri.

So, tetap semangat . Mari kita hapus stigma negatif pada penderita skizofrenia. Kita buktikan kalau kita isa mandiri dan berpikiran dewasa. Chayoo!!!

Jumat, 04 Februari 2011

Pada suatu ketika


Wong takon
Wong sing tur kang angkoro
Antarane riko aku iki

Sumebar ron ronane koro
Janji sabar
Sabar sak wetoro wektu

Kala mangsane
Titi kolo mongso

Pamudjiku ti biso
Sinutra korban jiwanggo
Pamungkase kang tur angkoro
Titi kolo mongso

by sudjiwo Tedjo

Buat sahabatku I**a
yang telah pergi mendahuluiku


Malam ini, aku tak sabar menunggu pagi
besok ada kopi darat KPSI Malang
aku telah mengundang banyak ODS, ODB, dokter, peneliti.
Dan aku berharap mereka datang.

Ka, kau tahu ini adalah impianku
sejak kau pergi
memilih jalan sunyi mu sendiri
aku berjanji
tidak akan membiarkan orang lain memilih jalan sepertimu
bukan berarti aku menyalahkan apa yang telah kau putuskan
tapi itu terlalu sakit Ka,
dan kau sendirian
terlalu banyak luka yang kau sembunyikan
terlalu banyak beban yang harus kau tanggung

saat itu aku tak bisa berbuat banyak
dan aku pun membiarkan mu pergi begitu saja
aku.... tidak bisa melakukan apa-apa

Kini aku bisa Ka.... aku bertemu orang-orang hebat yang penuh semangat

tapi kau tidak ada........
aku menjalaninya sendirian

maaf kan aku yang terlalu lama bersembunyi di balik sikap pengecutku
tidak berani menantang badai
kini aku berani Ka...
aku bisa berdri

tapi kau tak ada
kau tak ada
kau tak ada.................

Minggu, 09 Januari 2011

Mozaik, Mencari Kepingan Puzzle yang Terserak


Hidup, bagaikan sebuah mozaik. Setiap waktu yang kita lewati, kejadian yang kita alami adalah kepingan puzzle yeng terserak. Satu demi satu kepingan-kepingan itu akan kita temukan menjadi sebuah gambaran utuh diri kita.

Mungkin, sebagian orang akan dengan mudah menemukan kepingan puzzle dan menyusunnya menjadi sebuah gambar yang utuh. Namun tidak sedikit orang yang dengan bersusah payah mencari kepingan puzzlenya, bahkan ketika menemukannya pun, ia tidak segera bisa mengenali, gambar mana yang mencerminkan dirinya.

Orang Dengan Skizofrenia adalah satu dari sedikit orang itu. Ia tidak bisa melihat gambaran dirinya dengan jelas. Sangat sulit baginya untuk mendefinisikan perasaan apa yang berkecamuk di hatinya. Apakah dia sedih atau bahagia. Apakah dia benci atau cinta. Kadang dalam tawanya ia menangis, begitu pula ia tertawa dalam tangisannya.
Apa yang terjadi dalam hidupnya masih menjadi misteri. Seperti hutan Rata Penuhlebat yang pekat tiada cahaya untuk disusuri. Seperti mencari bayangan di saat gerhana. Ia bahkan tidak pernah tahu sampai kapan ini berakhir.

Maka, ia perlu seseorang yang mencintai dan mengasihinya dengan tulus. Seseorang, yang membantu menemukan puzzle-puzzle yang terserak diantara puing-puing hati yang rapuh. Lalu menyusunnya menjadi suatu gambaran yang utuh. Mengambilkan cermin dan berkata, ini lah dirimu yang sebenarnya. Begitu indah dengan keunikannya.

Seandainya semua orang di dunia seperti itu. Berani menghadapi kehidupan, berani mendampingi, berani mengajak berjalan bersama. Tidak merasa malu atau merendahkannya. Mungkin, akan ada secercah cahaya untuk penderita skizofrenia. Bisa jadi, mereka lebih tegar dalam menghadapi hidup. Tak kan pernah terbersit dalam pikiran mereka untuk mengakhiri hidup sebelum tiba saatnya. Bangsal-bangsal rumah sakit jiwa pun akan semakin sepi pengunjung.

Dari sedikit orang yang berani itu, merekalah orang-orang yang terkumpul dalam kisah Mozaik,Kisah Inspiratif tentang Mereka yang Hidup Bersama Orang dengan Skizofrenia. Mbak Tika, seorang dokter yang tidak pernah lelah dan putus asa memberikan motivasi pada pasiennya. Dia lah saksi dari ketidakadilan dan kedzoliman yang dialami ODS. Mas Bagus, seorang adik yang selalu setia mendampingi kakaknya melewati masa-masa sulit, ketika orang lain tidak perduli padanya. Mbak Iva adalah seorang anak yang begitu mencintai ibunya, separah apa pun kondisinya. Dalam hatinya, sang Ibu adalah orang yang paling hebat di dunia. Begitu juga mbak Lofi, dengan kondisi adiknya yang sangat emosional, dengan sabar ia memberikan pengertian dan menjawab setiap lontaran dan bentakan. Bahkan, kondisi anaknya yang berubah seratus delapan puluh derajat dari apa yang ia harapkan, tidak sedikit pun mengurangi rasa cinta pada putranya yang menderita skizofrenia Paranoid.

Ada banyak kisah yang tertulis, pun yang tidak sempat tertuliskan. Ada banyak cinta yang harusnya diabadikan. Tapi apalah arti keabadian, cinta bukanlah batu nisan yang ditancapkan untuk dikenang. Namun cinta sendirilah yang akan terus hidup tanpa mengenal batas ruang dan waktu.
Mozaik, yang disusun oleh dr. Tika Prasetiawati dan Bagus Utomo, dua orang aktivis pemerhati ODS dan gangguan psikomatis, seperti oase di padang gurun bagi mereka yang mendampingi para ODS. Kisah-kisah dalam buku ini mengajarkan kita, sesulit apa pun kondisinya, tidak ada alasan untuk menelantarkan ODS begitu saja.
Dengan cinta dan ketulusan hati, mereka membuktikan badai sehebat apa pun bisa dihadapi.
Hingga perlahan akhirnya mereka melihat pelangi harapan yang muncul seusai hujan.


Jika saja boleh memilih, tak seorang pun mau ditakdirkan menjadi penderita skizofrenia (Tika Prasetiawati, 2010:121). Namun, tidak ada seorang pun yang bisa lepas dari takdir. Kehidupan ini pun tercipta karena campur tangan Takdir. Bisa jadi, Tuhan mendidik kita melalui orang-orang yang butuh kita tolong. Tuhan menguji kesabaran kita melalui keluarga yang jauh dari harapan dan idealisme kita. Agar kita belajar memeberi, mengasihi, dan ikhlas menerima.


Senin, 13 Desember 2010

one litre of tears-one litre of my tears



Konayuki mau kisetsu wa itsumo sure chigai
Hitogomi ni magirete mo onaji sora miteru no ni
Kaze ni fukarete nita you ni kogoeru no ni

Boku wa kimi no subete nado shitte wa inai darou
Soredemo ichi oku nin kara kimi wo mitsuketa yo
Konkyo wa naikedo honki de omotterunda

...................................

Lyric lagu ini terus saja terngiang di telingaku. One Litre of Tears, sebuah film yang menceritakan perjuangan Aya, seorang gadis berkebangsaan Jepang yang menderita penyakit ataksia (Spinocellebral degeneration disease). Melihat film ini, seperti bercermin pada diriku sendiri. Bayang-bayang masa lalu, dan harapan tentang masa depan membuatku tak berhenti mengeluarkan air mata. Seperti air mata Aya yang menghiasi buku hariannya.

Aku menangis, saat Aya menyadari bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Seorang gadis 15 tahun yang penuh mimpi dan cita-cita terpaksa harus menerima realita bahwa dia tak akan menjalani hidup seperti gadis-gadis remaja yang lainnya. Perlahan dia akan kesulitan berjalan, tidak mampu berbicara kecuali sepatah dua patah kata, bahkan untuk makan pun ia perlu minta bantuan pada orang lain.

seketika aku melihat bayangan diriku tujuh tahun yang lalu. Saat usiaku 16 tahun, dokter menyatakan bahwa aku terkena Schizophrenia, penyakit kejiwaan yang sampai sekarang belum ada obatnya. Perlahan aku tidak bisa lancar berbicara, pikiranku selalu bingung. Aku menangis tanpa sebab. Aku lupa pada benda-benda yang penting bagiku. Aku harus menjalani terapi pengobatan, dan terpaksa harus berhenti sekolah. Perlahan teman-teman, sahabatku, dan orang yang kucintai pergi meninggalkanku. Entah karena mereka tidak faham terhadap perubahan diriku, atau mereka terlalu tidak perduli.

Why did the disease choose me?

Aya bertanya pada ibunya sambil menangis. 

Seketika aku teringat pada suatu hari aku pun menanyakan hal yang sama pada ibuku. 

Mengapa harus aku? Mengapa aku yang harus menanggung semua ini? Mengapa tidak yang lainnya? aku masih punya mimpi dan cita-cita yang ingin ku kejar.

Tapi aku berusaha untuk bertahan dengan semua ini. Dengan segala ketidaktahuanku, aku mencari informasi tentang penyakit ini. Dan semakin aku mencari, semakin aku merasakan kerapuhanku untuk bisa bertahan hidup. kenyataan bahwa penderita skizofren akan menjadi beban bagi orang-orang di sekitarnya. Kenyataan bahwa ODS (Orang Dengan Skizofrenia) dipandang sebelah mata, bahkan diasingkan dan dirantai.

Sakit sekali rasanya jika apa yang ku inginkan hanya bisa ku lihat, dan tidak bisa kugapai.

Sakit sekali rasanya melihat orang lain bisa memperolehnya dengan mudah, sementara aku harus bersusah payah.

Sakit sekali rasanya, harus menerima kenyataan bahwa aku tidak mampu menyamai langkah teman-temanku, bahkan dengan berlari sekalipun.

Sakit sekali rasanya, menerima kenyataan bahwa ternyata selama ini aku menjadi beban bagi orang-orang di sekitarku. Mendengarkan keluhan mereka tentang sikap dan tingkah lakuku yang aneh.

Sakit sekali rasanya, bukan karena aku dibenci, tetapi segala usahaku yang tampak sia-sia. Sekeras apa pun aku berusaha untuk menjalani hidup seperti orang normal, tetap saja aku adalah skizofrenik  yang penuh kecemasan dan ketakutan.

Bahkan menatap masa depan pun aku tidak berani.

Jika Aya akhirnya bisa menerima kondisi dirinya dan tetap bertahan untuk hidup, pada akhirnya aku harus menerima kenyataan dan terus berjalan. Meski sesulit apa pun hidup yang kujalani, berkali-kali relaps dan masuk rumah sakit. Tetap saja esok hari aku membuka mata dan menatap sinar matahari pagi. 

Seperti Aya, aku berusaha berdamai dengan diriku. Menerima diriku apa adanya. Menerima kekalahan dan kelemahan. Menerima bahwa ada banyak hal yang tidak bisa kuraih. Menerima bahwa aku harus terus minum obat, entah sampai kapan. Atau mungkin seumur hidup.

Melihat Aya yang bersemangat dan terus menulis di tengah keterbatasannya. Aku pun mulai bersemangat untuk menuliskan apa yang kurasakan, apa yang ada dalam pikiranku. Karena aku takut, suatu hari nanti aku tidak akan bisa mengingat lagi saat-saat yang paling membahagiakan, bahkan menyedihkan sekalipun. Aku lupa aku pernah mencintai siapa, dan bagaimana rasanya. 

Selama tujuh tahun Aya bertahan hidup, pada akhirnya ia meninggal saat usianya 22 tahun. Sedangkan aku telah melewati tujuh tahun dan hidup sampai saat ini. Sesungguhnya, aku sangat takut bermimpi tentang masa depan. Akan kemana lagi aku setelah ini. Apakah aku akan bekerja, menikah, punya anak dan keluarga seperti teman-temanku yang lainnya.

Yang aku tahu aku masih punya setitik harapan untuk bertahan hidup. demi ayah, ibu, dan adikku. Demi melihat ODS lain yang sama-sama berjuang, demi menuliskan persaan sedih dan bahagia, harapan dan cita-cita.

Agar kelak jika suatu hari nanti aku telah tiada, setidaknya aku bisa memberikan semangat pada  ODS yang lain untuk tetap bertahan hidup dalam kondisi seburuk apa pun.

In my loneliness and disability, I acutally still want to help others. If theres is no hope today, may be I'll find it tomorrow.....


 




Rabu, 20 Oktober 2010

Siapakah Sesungguhnya yang Gila?

Skizofrenia, yang dulunya merupakan penyakit yang jarang dikenal, rupanya saat ini mulai diperhatikan oleh masyarakat. Pada perayaan Hari Kesehatan Jiwa (HKJS) tanggal 10 oktober kemarin, Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) mengadakan workshop dan pameran lukisan penderita skizofrenia. Selain itu mereka melakukan demonstrasi menyuarakan Indonesia bebas pasung 2011. Perayaan itu juga terdapat di daerah-daerah. Seperti di kota Malang, Jawa Timur,Perhimpunan Sehat Jiwa yang dimotori oleh Rumah Sakit Jiwa Lawang, mengadakan jalan sehat dari bundaran tugu ke alun-alun Kota Malang. Mereka bahkan memvisualisasikan pemasungan "orang gila" dengan memperlihatkan orang gila yang dipasung lalu diarak naik mobil pick up. Di bawah mobil itu, kurang lebih tertulis "jangan pasung kami".

Pandangan masyarakat terhadap penyakit skizofrenia memang masih sangat awam. Meskipun baru-baru ini, berita tentang skizofrenia muncul di berbagai media; global TV, kompas, Jawa Pos, namun stigma negatif masyarakat terhadap penyakit ini belum juga hilang. Terbukti masih ada penderita skizofrenia yang dikucilkan oleh keluarganya. Bahkan ada yang dipasung selama bertahun-tahun. Masyarakat masih menganggap penyakit ini sebagai sebuah kutukan atau aib yang perlu disembunyikan.

Perlakuan yang kurang kondusif dari masyarakat membuat penderita merasa rendah diri. Mereka merasa tidak mampu untuk bangkit kembali dari kondisi relaps. Tidak sedikit dari mereka yang masih menikmati halusinasi dan bayangan yang sesungguhnya tidak nyata. Akibatnya, Orang Dengan Skizofrenia (ODS) kurang bisa memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya. Dengan kata lain, mereka dianggap tidak bisa bekerja dan berkontribusi di dalam masyarakat.

Sesungguhnya, jika ditilik dari sejarah, fenomena skizofrenia ini sudah ada sejak sebelum abad ke-18. Tidak hanya skizofrenia, fenomena kegilaan lainnya pun ditemukan pada masyarakat-masyarakat primitif. Focault, seorang postmodernist dari Eropa dalam essaynya Madness and Civilitation menyebutkan bahwa fenomena dukun Shaman mempunyai ciri-ciri kegilaan. Ruth Benedit menemukan bahwa suku Kwakiul ternyata memiliki ciri-ciri paranoia.

Pada akhir abad ke 18 sampai 19 puisi-puisi Hodellin Blake, yang dianggap gila mulai diterbitkan. Begitu juga dengan Raymond Russel seorang penulis yang masuk rumah sakit jiwa, diperhitungkan oleh pengarang Robert Guillbert sebagai titik tolak karya-karyanya. Bahkan Antonio Artaurd, seorang skizofrenik membuat fenomena baru di dunia puisi setelah melemahnya surealisme.

Jika masyarakat modern menganggap ODS sebagai "orang gila" yang termarjinalkan. Harusnya ada alasan yang kuat mengapa masyarakat memiliki pandangan demikian. Kalau "kegilaan" diukur dengan bahasa ODS yang cenderung simbolik dan susah dimengerti, maka pendapat tersebut telah dilemahkan oleh teori dekonstruksi Derrida. Filsuf yang populer pada tahun 1980-an ini, mengemukakan logika berbahasa baru, yang cenderung menegasikan strukturalisme. Hagemoni strukturalisme Saussure yang merumuskan sign sebagai penafsiran dari signifier+signified didekonstruksi menjadi sign=signifier+signified....+signified. Hasilnya, ada sekelompok orang, salah satunya adalah penyair, yang menggunakan logika berbahasa yang keluar dari pakem. Sebagai contoh, Afrizal Malna menggunakan logika berbahasa skizofrenia dalam puisi-puisinya yang bertema postcolonial.

Melihat kondisi tersebut, seharusnya stigma negatif "kegilaan" terhadap ODS perlu dikaji ulang. Karena logika berbahasa ODS, meskipun keluar dari pakem yang telah disepakati, memiliki struktur tersendiri. orang yang memiliki pola bahasa yang berbeda, bukan berarti dia " gila" dan layak dikucilkan. Bukankah teori relatifitas menyatakan tidak ada kebenaran mutlak di dunia ini, yang ada hanya perbedaan sudut pandang? Bukankah itu berarti yang berbeda dan minoritas bukan berada pada pihak yang salah, namun hanyalah soal perbedaan persepsi?

Pada kenyataanya, dalam kondisi normal, ODS tetap bisa bekerja dan beraktifitas seperti biasa. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang berprestasi. Ada pendapat yang menyebutkan mereka adalah orang yang jenius kreatif. Bila dibandingkan dengan masyarakat yang mengaku dirinya "normal dan sehat" namun tidak memiliki iktikad baik untuk bekerja, bisa dibilang ODS mempunyai "bargaining" posisi yang lebih tinggi. ODS tidak memaksudkan dirinya untuk bertindak destruktif, namun ada sesuatu yang tidak bisa dikendalikan dalam dirinya. Tindakan ODS yang dianggap mengganggu masyarakat sesungguhnya bukanlah faktor kesengajaan. Melainkan karena mereka tidak bisa mendefinisikan dan melawan kekuatan aneh yang mengontrol mereka.

Sedangkan para perampok, koruptor, pemimpin yang dzalim menyengsarakan orang lain karena mereka ingin mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Mereka tidak segan-segan menghilangkan nyawa orang lain agar keinginannya tercapai. Bahkan penguasa menindas rakyatnya untuk memperkaya diri sendiri. Kalau seperti ini, siapa sesungguhnya yang gila? siapa yang seharusnya dikucilkan dan dipenjarakan? ODS yang tidak bersalah atau koruptor yang "memakan" uang rakyat? Jawabannya ada di dalam hati masing-masing orang. Apakah masyarakat masih memiliki akal sehat dan hati nurani yang jernih, atau semuanya hilang ditelan ideologi modernisme dan kapitalisme. Dimana yang lebih menguntungkan, itulah yang dianggap benar